Profil Prabowo Subianto, Tokoh Militer Karismatik
Prabowo Subianto, seorang politisi dan
pengusaha Indonesia, juga dikenal sebagai mantan petinggi militer. Prabowo,
yang merupakan pendiri Partai Gerindra, telah menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden Indonesia dalam beberapa putaran pemilihan sejak tahun 2004.
Meskipun Prabowo telah mencalonkan diri
sebagai calon Presiden beberapa kali, upayanya selalu gagal dalam pemilihan
presiden. Namun, saat ini ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan di era
pemerintahan Presiden Joko Widodo. Prabowo juga dikenal sebagai tokoh
kontroversial selama masa reformasi 1998. Bagaimana kisah hidupnya?
Biografi Prabowo Subianto
Prabowo Subianto lahir dengan nama lengkap
Prabowo Subianto Djojohadikusumo, dan ia memiliki pengalaman yang luas di
berbagai bidang seperti militer, bisnis, dan politik dalam beberapa tahun
terakhir.
Pada Pemilu 2019, ia diusung oleh Partai
Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) sebagai calon Presiden Republik Indonesia
setelah gagal dalam pemilihan 2004, 2009, dan 2014 sebelumnya. Prabowo Subianto
telah menghadapi banyak kontroversi selama kariernya di militer.
Masa Kecil Prabowo
Prabowo Subianto lahir pada tanggal 17
Oktober 1951, sebagai anak dari pakar ekonomi Indonesia pada zaman Soekarno dan
Soeharto, Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Ibunya, Dora Marie Sigar, berasal
dari Manado.
Menurut laporan dari Tribunnews.com,
Prabowo Subianto mengikuti keyakinan agama ayahnya, yaitu Islam, sementara adik
dan kakaknya mengikuti keyakinan ibunya yang beragama Kristen Protestan dan
Katolik.
Dilihat dari silsilah keluarga, Prabowo
Subianto juga merupakan cucu dari Pendiri Bank Indonesia dan anggota BPUPKI
untuk kemerdekaan Indonesia, yaitu Raden Mas Margono Djojohadikusumo.
Dalam keluarganya, Prabowo memiliki dua
kakak perempuan bernama Bintianingsih dan Mayrani Ekowati, serta satu adik
laki-laki yang sekarang menjadi pengusaha handal bernama Hashim
Djojohadikusumo.
Prabowo mulai bersekolah di Sekolah
Sumbangsih, Jakarta saat berusia lima tahun. Pada tahun 1957, saat
pemberontakan PRRI terjadi, ayah Prabowo, Prof. Soemitro Djojohadikusumo,
membawa seluruh keluarganya, termasuk Prabowo, mengungsi ke Padang dengan
menggunakan pesawat Dakota DC-3.
Hidup yang Berpindah-Pindah
Pemerintahan Soekarno saat itu mencurigai
Prof. Soemitro Djojohadikusumo terlibat dalam pemberontakan tersebut. Akhirnya,
Prof. Soemitro Djojohadikusumo membawa seluruh keluarganya pindah ke Singapura
pada tahun 1958.
Prabowo kemudian bersekolah di British
Elementary School, Singapura. Namun, situasi politik di Singapura pada saat itu
yang lebih memilih menjaga hubungan baik dengan Presiden Soekarno membuat
Prabowo dan orang tuanya pindah ke Hongkong pada tahun 1962.
Di Hongkong, ayahnya mendaftarkan Prabowo
dan saudaranya di Glenealy Junior School. Ayahnya membuka bisnis konsultan
ekonomi di sana. Namun, Prabowo hanya tinggal dua tahun di sana dan pindah ke
Kuala Lumpur, Malaysia.
Masa Remaja
Menurut beberapa sumber dalam biografi
Prabowo Subianto, di Malaysia, ia bersekolah di Victoria Institute. Namun,
konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia terjadi pada tahun 1963. Prof.
Soemitro Djojohadikusumo secara terang-terangan membela Indonesia, bangsanya
sendiri, meskipun ia sering kali menentang Presiden Soekarno.
Prabowo dan keluarganya akhirnya pindah ke
Zurich, Swiss. Di negara ini, Prabowo bersekolah di American International
School dan mulai belajar bahasa Jerman dan Prancis. Namun, tidak lama setelah
itu, Pemerintah Swiss menolak memberikan suaka politik kepada Prof. Soemitro
Djojohadikusumo dan keluarganya.
Akhirnya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo
membawa istri dan anak-anaknya, termasuk Prabowo Subianto, ke Inggris karena
pemerintah Inggris bersedia memberikan mereka izin tinggal permanen di sana.
Prabowo kemudian melanjutkan sekolahnya di American International School hingga
tahun 1968. Setelah itu, Prabowo kembali ke Indonesia.
Masuk Sekolah Militer
Pada tahun 1970, Prabowo Subianto memulai
karirnya saat mendaftar di Akademi Militer Magelang. Ia lulus pada tahun 1974
dari Akademi Militer, dan kemudian pada tahun 1976, ia ditugaskan sebagai
Komandan Pleton Para Komando Grup I Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha)
dan terlibat dalam operasi Tim Nanggala di Timor Timur.
Prabowo Subianto kemudian menikah dengan
Titiek, yang merupakan anak dari Presiden Soeharto. Pernikahan Prabowo dengan
Titiek berakhir tidak lama setelah Soeharto mundur dari jabatan Presiden
Republik Indonesia.
Dari pernikahannya dengan Titiek, Prabowo
dikaruniai seorang anak bernama Didiet Prabowo. Anaknya itu tumbuh besar di
Boston, AS, dan sekarang tinggal di Paris, Perancis, di mana ia bekerja sebagai
desainer.
Setelah kembali dari Timor Timur, karir
militer Prabowo terus menanjak. Pada tahun 1983, Prabowo dipercaya sebagai
Wakil Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teroris (Gultor) Komando Pasukan
Khusus TNI AD (Kopassus).
Setelah menyelesaikan pelatihan
"Special Forces Officer Course" di Fort Benning, Amerika Serikat,
Prabowo diberi tanggung jawab sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara.
Jenderal yang Dikelilingi oleh Kontroversi
Prabowo Subianto terlibat dalam berbagai
kontroversi dan dugaan pelanggaran HAM selama kariernya di militer. Pada tahun
1983, ketika masih berpangkat Kapten, Prabowo diduga terlibat dalam upaya
penculikan sejumlah petinggi militer. Sasaran penculikannya termasuk Jenderal
LB Moerdani, seperti yang diceritakan oleh Letjen Sintong Panjaitan dalam
bukunya 'Perjalanan Prajurit Para Komando' yang diterbitkan oleh Kompas.
Dikutip dari Merdeka.com, upaya Prabowo ini
digagalkan oleh Mayor Luhut Panjaitan, yang saat itu menjabat sebagai Komandan
Den 81/Antiteror. Prabowo sendiri merupakan wakil Luhut pada saat itu.
Pada tahun 1990-an, Prabowo diduga terlibat
dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Pada tahun 1995, ia diduga
menggerakkan pasukan ilegal atau pasukan "ninja" yang melakukan
serangan terhadap warga sipil.
Peristiwa ini hampir mengarah pada konflik
antara Prabowo dan Kolonel Inf Kiki Sjahnakrie, Komandan Korem Timor Timur saat
itu, di kantor Pangdam IX Udayana, seperti yang dicatat dalam Buku Biografi
Prabowo yang ditulis oleh Femi Adi Soempeno. Sejumlah lembaga internasional
menuntut agar kasus ini dituntaskan.
Selain itu, menurut Femi Adi Soempeno,
Prabowo juga dikaitkan dengan pengiriman pasukan "ilegal" ke Aceh.
Namun, semua tuduhan ini dibantah oleh Prabowo. Pada akhir tahun 1995, Prabowo
diangkat sebagai Komandan Jenderal Kopassus (Korps Pasukan Khusus).
Dalang Penculikan Aktivis 1998?
Pada tahun 1997, Prabowo Subianto diduga
terlibat dalam penculikan dan penyiksaan sejumlah aktivis pro-Reformasi.
Setidaknya 13 orang, termasuk seniman Teater Rakyat Widji Thukul, aktivis
Herman Hendrawan, dan Petrus Bima, hilang dan hingga kini belum ditemukan.
Mereka diduga telah meninggal.
Tim Mawar mengakui bahwa mereka
diperintahkan oleh Prabowo untuk melakukan penculikan terhadap sembilan
aktivis, termasuk Haryanto Taslam, Desmond J Mahesa, dan Pius Lustrilanang.
Banyak dugaan bahwa Prabowo Subianto juga
terlibat dalam Kerusuhan Mei 1998 berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari
Fakta. Motif dugaan tersebut adalah untuk mendiskreditkan rivalnya, Pangab
Wiranto, menyerang etnis minoritas, dan mendapatkan simpati dan wewenang yang lebih
dari Soeharto jika dia berhasil meredakan kerusuhan tersebut.
Niat Kudeta?
Pada bulan Mei 1998, Prabowo melakukan
insubordinasi dan berupaya menggerakkan pasukan menuju Jakarta, seperti yang
disaksikan oleh BJ. Habibie dalam bukunya yang berjudul 'Detik-Detik
Menentukan', serta kesaksian dari purnawirawan Sintong Panjaitan. Menurut
Habibie, Prabowo juga menempatkan pasukannya di sekitar kediaman Habibie untuk
mencoba kudeta.
“…Keputusan memecat saya adalah sah, Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada republik.” Prabowo Subianto
Karena insubordinasi tersebut, Prabowo
diberhentikan dari jabatannya sebagai Panglima Kostrad oleh Wiranto atas perintah
Habibie. Masalah utama dalam kesaksian Habibie adalah bahwa sebenarnya pasukan
yang mengawal rumah Habibie adalah atas perintah Wiranto yang saat itu menjadi
Panglima ABRI, bukan Prabowo.
Pada pertemuan komando tanggal 14 Mei 1998,
Panglima ABRI mengarahkan Kopassus untuk mengawal rumah-rumah presiden dan
wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara tertulis pada tanggal 17
Mei 1998 kepada komandan-komandan senior, termasuk Sjafrie Sjamsoeddin, Pangdam
Jaya pada waktu itu.
Dalam buku biografinya, Prabowo menyatakan
bahwa ia yakin ia bisa saja melancarkan kudeta selama kerusuhan pada bulan Mei
tersebut. Namun, yang terpenting baginya adalah bahwa ia tidak melakukannya.
Menjadi Pengusaha Kertas
Dalam biografi Prabowo Subianto diketahui
bahwa setelah meninggalkan karier militer, Prabowo Subianto memulai perjalanan
sebagai seorang pengusaha mengikuti jejak adiknya, Hashim Djojohadikusumo.
Karir Prabowo sebagai pengusaha dimulai
dengan membeli perusahaan kertas bernama Kiani Kertas, yang mengelola pabrik
kertas di Mangkajang, Kalimantan Timur.
Perusahaan Prabowo Subianto sebelumnya
dimiliki oleh Bob Hasan, seorang pengusaha yang dekat dengan Presiden Suharto.
Prabowo Subianto membeli Kiani Kertas dengan menggunakan pinjaman sebesar Rp.
1,8 triliun dari Bank Mandiri.
Selain mengelola Kiani Kertas, yang
sekarang dikenal sebagai Kertas Nusantara, kelompok perusahaan Nusantara Group
yang dimiliki oleh Prabowo juga menguasai 27 perusahaan di dalam dan luar
negeri. Usaha-usaha yang dimiliki oleh Prabowo bergerak di bidang perkebunan,
tambang, kelapa sawit, dan batu bara.
Terjun ke Dunia Politik
Setelah sukses sebagai seorang pengusaha,
Prabowo Subianto kemudian memulai karier politiknya dengan mengandalkan
pengalaman dan reputasinya.
Calon Presiden 2004
Dalam biografi Prabowo Subianto diketahui
bahwa ia mencalonkan diri sebagai calon presiden dari Partai Golkar pada
Konvensi Capres Golkar 2004. Meskipun berhasil sampai ke putaran terakhir,
Prabowo akhirnya kalah dalam pemilihan tersebut. Ia kalah suara dari Wiranto.
Calon Wakil Presiden 2009
Kemudian pada tahun 2009, Prabowo Subianto
mencalonkan diri sebagai calon presiden pada pemilu 2009, namun akhirnya
menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Megawati sebagai calon presiden
Republik Indonesia.
Pada saat itu, Prabowo mendirikan partai
bernama Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) dan menggunakan partai tersebut
sebagai kendaraan politik. Namun, hasil pemilihan umum menyatakan sebaliknya,
pasangan Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto kalah dari pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia.
Calon Presiden 2014
Pada pemilu 2014, Partai Gerindra atau
Gerakan Indonesia Raya mencalonkan Prabowo sebagai calon presiden. Ia memilih
Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional sebagai calon wakil presiden yang
mendampinginya.
Hal ini didukung oleh beberapa partai yang
membentuk koalisi yang dikenal sebagai Koalisi Merah Putih. Namun, dalam
pemilihan presiden 2014, Prabowo Subianto kalah suara dari lawannya, Jokowi dan
Jusuf Kalla.
Calon Presiden 2019
Pada tahun 2019, Prabowo kembali
mencalonkan diri sebagai calon presiden dalam Pemilu 2019. Kali ini, ia
berpasangan dengan Sandiaga Uno sebagai calon presiden yang didukung oleh
partai seperti Gerindra, PKS, PAN, dan lainnya.
Namun, ia kalah dalam perolehan suara dari
pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin setelah hasil penghitungan suara diumumkan
oleh KPU.
Menjabat sebagai Menteri Pertahanan
Setelah pemilihan umum presiden selesai,
Presiden Joko Widodo menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan
Indonesia pada bulan Oktober 2019. Ia masuk dalam kabinet Indonesia Maju untuk
periode 2019 hingga 2024.
Selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan,
Prabowo diketahui tidak menerima gaji sebagai menteri. Ia memilih untuk
menyumbangkan penghasilannya kepada yayasan-yayasan seperti yayasan kanker,
lembaga zakat, dan rumah ibadah.
Selama masa jabatannya, Prabowo juga banyak
menghasilkan ekspor produk persenjataan Indonesia ke luar negeri melalui PT
Pindad. Ia juga meningkatkan sistem persenjataan (alutsista) Indonesia dengan
melakukan pembelian sistem peringatan rudal, pesawat, dan persenjataan berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar